Banyak cara dilakukan orang untuk dikenal dan dikenang bahkan setelah kematiannya. Mereka menginginkan keabadian. Raga boleh saja mati, tapi nama tetap abadi. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Karena abadi dan keabadian hanyalah milik Tuhan. Manusia tumbuh dan berkembang dalam batasan yang Tuhan tentukan. Ia tak akan pernah mampu melampaui batasan itu. Setiap yang bernyawa pasti mati. Ia tak abadi. Itu sunah kehidupan.

Hanya saja manusia bisa tetap hidup melampaui usianya. Namanya tetap dikenang selepas kematiannya. Membuatnya seakan abadi. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana ia tetap dikenang? Namanya seakan-akan kekal. Jawabannya, ia dikenal karena peninggalannya. Bisa berupa apa saja. Satu yang pasti diantara beragam jawaban, ia dikenal karena tulisannya. Tak cukup satu bahkan beribu buku ia hasilkan. Ia menulis, terus menulis.

Menulis itu seperti mereguk ramuan keabadian. Siapa yang mereguknya akan merasakan keabadian itu. Kita mengenal banyak tokoh masyhur yang namanya masih dikenang hingga sekarang. Mereka melegenda. Dalam khazanah Islam, kita mengenal Al-Ghazali, Imam Malik, Imam Syafii, dan banyak lagi. Di luar itu, kita pasti tak asing dengan para filsuf terkemuka Yunani seperti Plato, Aristoteles, Philolaos, dan lain-lain. Mereka seperti hidup dalam keabadian dan tak mati.

Mendiang Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis ternama, pernah mengungkapkan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Plato telah meninggal ribuan tahun lalu. Ia bahkan dikabarkan meninggal saat menulis. Namun, namanya dikenal berabad-abad lamanya. Karyanya ‘Republika’ menjadi sangat masyhur dan fenomenal, membuat Plato dikenal hingga hari ini. Plato telah mereguk ramuan keabadian itu. Ia penulis dan banyak menulis.

 

Menulis membuat kita dikenal. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, “Kalau kamu bukan anak raja dan bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis.” Kita mungkin bukan siapa-siapa, tetapi dengan menulis kita menjadi siapa. Bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, tetapi bisa dikenal bahkan melebihi raja dan ulama. Rahasianya menulis. Maka jadilah penulis.

Mereka, para tokoh itu, telah mereguk purna ramuan keabadiannya. Mati berabad-abad namun namanya masih selalu diingat. Dunia mengabadikannya. Tumpukan buku karya mereka tersimpan dipelbagai perpustakaan ternama dunia. Padahal zaman itu tak secanggih zaman ini. Hanya untuk mendapatkan sebuah ilmu baru, mereka sanggup menempuh jarak ribuan kilometer jauhnya. Sebuah perjalanan yang tak bisa dipandang ringan hingga menghabiskan waktu berbulan-bulan. Namun, mereka sangat tabah menjalaninya. Sangat berbeda dengan sekarang, zaman digital. Zaman bergelimang fasilitas dan kemudahan. Hanya dengan sentuhan jari, kita akan mendapatkan apa yang kita cari. Hanya sayang, segala kemudahan sekarang tak banyak dimanfaatkan.

Zaman sekarang banyak orang pintar dengan beragam latar belakang: pendidikan, budaya, keahlian, dan sebagainya. Kebanyakan juga sangat gemar membaca. Sayangnya, tak banyak yang mau menulis. Kaya ilmu dan pengalaman namun sekadar untuk diri sendiri. Tak berusaha untuk dibagi. Padahal jika ia mau menulis, besar kemungkinan tulisannya akan bermanfaat bagi khalayak. Tak hanya untuk generasi masa kini, juga yang akan datang.

Tulisan dapat berpengaruh pada diri orang lain. Penulisnya boleh saja meninggal, tetapi pengaruh dari tulisannya bisa kekal hingga datangnya ajal. Seorang tokoh pemikiran Islam masyhur, Sayyid Qutb, pernah mengungkapkan, “Peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi tulisan bisa menembus jutaan kepala.”

Generasi telah berganti ratusan kali. Silsilah pun terus berjalan melintasi zaman. Para tokoh itu telah tiada ratusan tahun lalu. Namun, khazanah peninggalan mereka tetap abadi. Karya mereka melimpah sebagai warisan pemikiran tiada tara bagi generasi setelahnya. Mereka tetap dikenang, bahkan pemikiran yang mereka wariskan menjadi pemantik semangat lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang makin memperkaya khazanah keilmuan.

Kita seperti merasakan denyut kehidupan menikmati karya-karya besar itu. Mereka telah tiada, tetapi karya besarnya dapat berbicara. Mereka seperti hidup dalam keabadian. Tulisan mereka seperti jantung yang memompa darah, terus mengalirkan kehidupan. Itulah hasil dari mereguk ramuan keabadian itu. Bayangkan, apa yang akan terjadi seandainya mereka tak pernah menuliskan pemikiran mereka? Mungkin kita tidak akan pernah mengenal mereka. Nasibnya mungkin tak jauh beda dengan kebanyakan orang. Hilang ditelan zaman dan tergilas oleh roda perputaran kehidupan. Ingin abadi? Reguk saja ramuan keabadian itu. Menulislah! (*)

Catatan: Tulisan ini tak lebih hanya ingin mengingatkan diri sendiri.

By admin