Oleh Nikmatul Badriyah, S.Pd.*


Saya cukup senang membaca cerita. Suatu ketika tanpa sengaja saya menemukan sebuah cerita rakyat (folklore) tentang Yin dan Yang. Saya tertarik untuk mengetahui isi ceritanya lebih mendalam. Tentang validitasnya seperti apa, saya tidak tahu. Mungkin penting bagi saya untuk sedikit menggambarkan maksud dan inti ceritanya. Kadang tanpa sengaja, kerap kita jumpai cerita ini dalam kehidupan sehari-hari.

Ceritanya begini. Ada dua orang yang bersahabat, namanya Yin dan Yang. Keduanya tergolong intelektual. Orang pandai, katakanlah begitu. Mereka berdua mempunyai sifat-sifat yang mulia, berbudi luhur, berjiwa besar, dan penuh kasih sayang.

Nah, mereka berdua berteman dekat, namanya juga sahabat. Hanya sedikit disayangkan, keduanya mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap ajaran Taoisme. Mereka berdua sering terlibat dalam debat sengit. Sering beradu pendapat untuk menimbang siapa yang pemahamannya paling benar. Ya karena sama-sama pintar, mereka, sama-sama mempunyai pendapat yang kuat. Walhasil, debat mereka tak pernah kunjung selesai. Masing-masing kukuh dengan prinsip dan pandangannya. Sampai mereka merasa capek sendiri.

Yin berkata, ”Kamu itu tidak memahamiku. Seandainya engkau adalah aku. Tentu engkau bisa memahami maksudku.”

”Sama. Kamu juga tidak bisa ngerti aku sih. Coba engkau menjadi aku, mungkin engkau akan paham, apa yang aku inginkan, apa yang aku maksud,” sanggah Yang.

Nah, akhirnya mereka memutuskan untuk bertukar diri, Yin menjadi Yang dan Yang menjadi Yin. Keduanya bersepakat, selama 40 tahun ke depan Yang fokus mempelajari ajaran Yin. Begitu sebaliknya. Misalnya, Yin pendapatnya X. Maka, Yang selama 40 tahun ke depan fokus mengkaji X saja. Yin juga sama. Jadi, untuk sementara waktu, mereka melupakan ajarannya sendiri. Mereka saling mempelajari ajaran yang berlawanan tersebut. Lama waktu 40 tahun, mereka anggap cukup untuk bisa saling memahami. Selama kurun waktu itu, keduanya serius akan belajar ajaran satu sama lain. Bukan untuk mencari kesalahan masing-masing, tapi belajar untuk bisa saling mengerti dan memahami. Berbeda dengan kita, kadang kita berdebat dan saling menjatuhkan. Fokus pada kesalahan orang lain dan mengabaikan kebenaran.

Setelah 40 tahun berlalu, Yin dan Yang sudah sama-sama tua. Keduanya saling merindukan. Semula mereka berdua bertemu hampir tiap hari, sekarang terpisah 40 tahun. Suatu senja mereka datang ke tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu. Mungkin ada yang menebak. Mereka bertemu dan langsung berdiskusi lagi panjang lebar atau bahkan berduel. Ternyata! Begitu bertemu, mereka hanya saling memandang, saling tersenyum, kemudian berpelukan. Resonansi getaran jiwa mereka seperti angin yang membelai. Seperti daun-daun yang berbisik pada relung-relung jiwa di jagad raya.

”Saudaraku, engkau selalu ada dalam diriku dan aku ada dalam dirimu,” kata keduanya.

Sejak saat itu, tak ada lagi diskusi-diskusi. Lewat pelukan saja keduanya sudah saling memahami. Tak harus susah payah menjelaskan, mencari, dan merumuskan. Bertemu, saling tersenyum, kemudian berpelukan.

Kita bisa mengambil pesan positif dari kisah rakyat ini. Bagaimana kita menyikapi Yin dan Yang dalam hidup. Ada positif, ada negatif. Kita harus bisa menghargai perbedaan. Tak harus sependapat atau sama pandangan. Kalau semuanya harus sama, jelas tak mungkin bisa. Perbedaan itu sudah hukum alam. Biarkan Yin tetap menjadi Yin. Yang tetap menjadi Yang. Mereka memiliki jati diri yang berbeda.

Dalam Yin ada Yang, dalam Yang ada Yin. Tanpa Yang maka Yin tak utuh. Begitu pula, ketiadaan Yin membuat Yang tak sempurna. Dunia ini akan lengkap ketika Yin dan Yang ada. Seperti aku yang sempurna, karena dia. Nah, begitu cara kita menyikapi perbedaan. Semoga cerita ini bisa memberikan pelajaran berharga bagaimana kita menyikapi Yin dan Yang dalam kehidupan. (*)


*Penulis adalah guru SDN II Bendiljati Kulon, Sumbergempol

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *