Bisu

Byadmin

Apr 6, 2021

Sri Rahayu, M.Pd.


Udara terasa dingin menembus sela-sela gemericik air hujan. Tetesannya memantulkan suara silih berganti, bagaikan irama dawai yang dipetik dengan sangat lembut. Tetesan demi tetesan berkumpul dan menggenang di tengah gang kecil diantara tonjolan batu kali yang mulai terkuak karena dentuman roda-roda besi dan injakan kaki kuda yang setiap hari melewati gang itu, membawa pedati mengangkut dagangan yang hendak dijajakan dipasar Kliwon. Pagar tembok yang tinggi menjulang di sisi kanan dan kiri gang nyaris menutupi pandangan ke arah sekeliling, seakan menjadi pembatas dua tradisi yang sebenarnya sudah lama berdampingan. Kita tidak pernah tahu, siapa penghuni di balik tembok itu. Hanya sesekali terlihat perempuan paruh baya membukakan pintu pagar dan disusul dengan keluarnya mobil mewah warna silver.

Di sebelah tikungan tepatnya sebelah selatan mushola Bani Nadhir, satu-satunya mushola digang sayang jalan Pahlawan kota sempu. Nampak rumah dengan balai besar dan halaman yang luas. Tanaman beluntas berdiri berjajar menjadi pagar rumah itu. Sebuah delman tua dengan ukiran khas jawa terparkir didepan rumah. Sementara Pak Karmin, kusir keluarga ini bertugas membersihkan dan merawat delman bersejarah itu. Dipojok belakang rumah berderet kuda yang tertambat pada sebatang kayu dengan sekat-sekat kecil dalam kandang yang nampak bersih dan terawat. Mbak Jum keluar dari dalam rumah, perempuan paruh baya yang sudah mengabdi dikeluarga kami secara turun temurun. Dengan menenteng sapu bergegas menuju pohon rambutan yang rindang, membersihkan daun-daun kering yang jatuh disana-sini.

“Adit…. Adit…. Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku. Kulihat tarian mulut mungilnya dan isyarat tangannya, sambil terus mengguncang tubuhkku yang tengah  asyik membersihkan si jambul putih, kuda kesayanganku. Kakakmu pulang sekarang sudah di depan pasar. Ayo… segera kamu jemput.”

Seperti biasa, Aku hanya menganggukkan kepala. Kakakku Misdi, satu-satunya saudaraku yang sebentar lagi akan menyelesaikan studi S-2 nya di Jogja. Wajahnya yang tampan, kehalusan budi pekertinya dan kepandaiannya menjadi pengobat lara orang tuaku. Aku tahu, mereka pasti kecewa dengan keadaanku yang tidak bisa seperti yang  beliau inginkan. Aku yang terlahir dengan kondisi bisu dan tuli, tentu telah membuat mereka pesimis dengan masa depanku.

Sekejap saja, telah kususuri jalanan ini, sengaja kubelokkan ke kanan. Ke arah jalanan setapak pinggir kali. Orang-orang menyebutnya sebagai jalan tikus, karena jalannya yang sempit tapi sering digunakan orang-orang sebagai jalan alternatif untuk menuju pasar Kliwon. Selain jaraknya menjadi dekat juga karena jalan ini bebas macet, tidak harus berebut dengan deretan delman dan langkah kuda yang menghabiskan separuh badan jalan. Belum lagi, kalau harus berpapasan dengan mobil atau truk pengangkut sayuran yang sering keluar masuk pasar Kliwon.

Dari kejauhan kulihat mas misdi, dia berdiri di antara pedagang sayuran di pinggir jalan di depan rumah makan padang. Tangannya menenteng tas hitam dengan jaket dan sepatu mengkilat. Ada rasa bangga menyelinap dari dalam kalbu, karena dirinya menjadi pelengkap kekuranganku. Karenanya ibu bisa merasakan bahagia. Minimal dari ke dua anaknya ada yang sukses seperti mas misdi. Meskipun di sampingnya juga ada anak yang cacat seperti aku. Kuhampiri dan seperti biasa dia selalu memelukku dengan erat. Tangannya menjabat tanganku dan melingkarkan tangan satunya di punggungku. Semangatnya memenuhi aliran darahku. Masuk ke dalam jantung dan memompa hingga mendidihkan otak kanan dan kiriku. Semangat itulah, yang memompaku hingga aku dapat menyelesaikan S-1 matematika. Hingga aku bisa mengajar di SMPLB di Kotaku Magelang.

Disepanjang jalan mas misdi terus bercerita tentang pengalaman yang di alami selama kami tidak bertemu. Banyak hal yang tak kuketahui maksudnya bahkan untuk menyelaminya saja otakku tak mampu untuk mencernanya. Seperti biasa aku terus menjadi pendengar setia. Hanya senyuman yang terus kurangkai untuk menyambut kedatangannya. Aku berlalu, setelah ibu datang menghampiri dan mengayunkan tangannya mengisyaratkanku untuk menjauhi mereka. Ibu segera memeluk mas misdi dengan erat sekali. Ada rasa bahagia, rasa kangen yang amat dalam, serta rasa bahagia yang terpancar dari kedua bola matanya.

Meski kadang ingin sekali aku merasakan pelukan itu, namun sampai hari ini semua masih sebatas harapan. Aku sudah lupa kapan terakhir kali ibu memelukku, sejak aku bisa merasakan hidup di dunia aku belum pernah merasakan pelukan itu, bahkan aku hampir saja lupa seperti apa rasanya pelukan dan kasih sayang seorang ibu. Kuhampiri Si Jambul putih ku elus jambulnya dan ku peluk erat kepalanya. Perlahan ada butiran bening menetes dari kelopak mataku, mengalir dan menyelinap ke dalam sela-sela bulu lembut si jambul. Perlahan kepalanya menggeleng, matanya berkedip dan hidungnya mengendus-endus tanganku. Kuseka air mata ini, aku segera menaiki punggungnya. Dalam sekejap si jambul sudah membawaku ke arena.

Dia berlari kencang, melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Dia menggungcang-guncangkan punggungnya, menunjukkan atraksi terhebat yang kuajarkan padanya sambil terus mengitari arena. Hingga membuatku tertawa lepas dan lemas. Melupakan sejenak tentang kesedihan, tentang kehidupan dan tentang diriku. Perlahan ku pejamkan mataku, kurasakan hembusan angin yang bertiup membawa keharuman bunga melati yang kutanam bersama ayah ketika aku masih kecil. Tiba-tiba saja semua menjadi hilang tiada lagi rumput hijau, gunung yang menjulang, pohonan yang rindang, hembusan angin atau aroma bunga melati.

Semua hanyalah tinggal hamparan awan putih nan luas. Langit, awan dan bumi bersatu dan menjadi sangat dekat. Tiada lagi suara si jambul yang baru saja aku tunggangi. Tiada lagi hamparan pasir di arena. Tiba-tiba semua menjadi semu, asing dan bisu seperti diriku. Aku berdiri sendiri tanpa teman, kawan dan saudara. Hanya hamparan putih ini yang dapat ku pandang sepanjang jalan. Aku benar-benar berada dalam kebisuan yang sesungguhnya. Pikiranku melayang, mencoba menerka dimanakah aku berada namun, tak pernah ada jawaban yang aku temui. Karena memang tak ada satupun tempatku tuk bertanya.

Sayup-sayup ku dengar alunan ayat suci yang sering aku temui lewat mimpi. Ayat-ayat yang setiap hari aku baca di tiap pagi dan petang hari. Ayat yang membuatku damai ketika membacanya, yang selalu benar semua isinya. Yang menjadi teman sejati bagi setiap langkah, tempatku bertanya sepanjang hidupku. Kurasakan sebuah tangan melingkar ditubuhku, memelukku erat. Pelukan yang belum pernah aku rasakan. Ada kedamaian, kehangatan dan kebahagiaan. Tanpa sadar butiran bening ini keluar lagi dari kelopak mataku, kubuka perlahan kedua mata ini. Dan kulihat wajah yang setiap hari aku temui. Ibu….

Aku memeluk erat Ibuku, seakan tak ingin aku melepasnya. Tangisan ibu terus mengguncang-guncang tubuhku. Dalam hatiku aku terus mengucapkan maafkan aku ibu… maafkan aku ibu… aku telah berburuk sangka padamu, mungkin itulah caramu menyayangiku. Kulihat disekeliling, aku sudah berada di sebuah rumah kecil berdinding bambu dengan kerumunan orang-orang yang belum pernah aku kenal. Gadis berambut panjang dengan pita merah melingkar dikeliling sanggul, berlesung pipit dan bermata sipit. Tersenyum dan melepaskan pandangan ke arahku.

Banyak cerita yang seharusnya bisa aku dengar, namun alat pendengaran yang terpasang ditelingaku telah raib dalam guncangan Si Jambul. Ya… bagaimana keadaannya, Mas Misdi menyeruak dari balik kerumunan. Dengan isyarat tangannya dia mengatakan bahwa Jambul Putih tak apa-apa. Alhamdulillah.. dalam kebisuan terus ku sebut nama-Mu…. dalam keramaian kunikmati kesunyian, agar aku terus dekat dan berkomunikasi dengan-Mu. (*)


*Penulis adalah Kepala TK ABA Pelangi Kedungwaru

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *